173949_620

Maraknya aktivitas tambang timah yang diduga ilegal di laut dan pola penambangan yang tidak tersistem membuat ekosistem di perairan Bangka Belitung (Babel) rusak parah. Dari 41 titik pusat terumbu karang, hanya 10 titik yang tersisa. ”31 titik kondisinya rusak dan tertutup lumpur sisa penambangan,” ujar pengamat Lingkungan dari Universitas Bangka Belitung (UBB), Indra Ambarlika, saat dihubungi, Senin, 12 Oktober 2015.

Menurut Indra data yang yang diperoleh tim evaluasi terumbu karang Bangka Belitung menyebutkan kondisi kerusakan terumbu karang paling parah terjadi di Pulau Bangka. ”Terumbu karang yang masih bagus hanya di Tuing dan Pejem, Bangka, serta pulau-pulau kecil yang jauh dari pulau Bangka,” ujar dia.  Sisanya, kerusakan merata hampir di seluruh perairan Bangka. Di Pulau Belitung kerusakan hanya ada di perairan Kelapa Kampit dan Membalong.

Indra menjelaskan, kerusakan terumbu karang terjadi akibat adanya endapan lumpur yang menempel. Lumpur tersebut berasal dari sisa penambangan timah di laut dan sungai. Regenerasi terumbu karang juga tidak terjadi karena lumpur menempel pada anak dan telur karang. Pertumbuhannya sulit karena anak dan telur karang harus menempel di karang yang kuat. Kalau ada lumpur, anak dan telur karang tersebut mati karena kondisi tidak stabil. ”Yang tumbuh justru rumput dan alga,” ujar dia.

Menurut Indra, rehabilitasi terumbu karang di Bangka Belitung baru bisa dilakukan jika seluruh aktivitas penambangan di laut berhenti total. ”Kalau mau merehabilitasi tapi penambangan masih jalan, percuma. Kerusakan tetap terjadi,” ujar dia.  Indra menegaskan, rehabilitasi lingkungan laut membutuhkan tenaga banyak, biaya besar, dan waktu hingga 50 tahun baru bisa kembali.

Ihwal adanya wacana rehabilitasi lingkungan laut dilakukan perusahaan di luar negeri yang menggunakan timah Bangka Belitung, Indra menyebutkan hal itu baru wacana dan belum pernah dilakukan reklamasi lingkungan laut. Bahkan, kata dia, PT Timah juga sudah melakukan reklamasi lingkungan laut. ”Namun di sisi lain mereka masih menambang. Itu berarti hanya ceremonial agar terlihat ada kegiatan,” ujar dia.

Direktur Utama PT Timah (Persero) Sukrisno mengatakan, PT Timah sebagai pemilik wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) laut terbesar di Bangka Belitung sudah melakukan reklamasi. Ia menuding kerusakan ekosistem laut disebabkan tambang ilegal milik masyarakat karena tambang yang memiliki izin beroperasi diatas 1 mil dari bibir pantai.

Sukrisno menjelaskan, penambangan PT Timah menggunakan kapal isap. Prosesnya dilakukan secara mekanik, bukan kimia. ”Yang kami sedot adalah pasir. Kami hanya ambil timah sebanyak 0,18 persen saja. Sisa pasirnya dibuang lagi ke laut,” ujar dia. Dari proses tersebut, Sukrisno melanjutkan, air memang menjadi keruh. Namun, dia memastikan tidak merusak ekosistem laut. ”Ikan hanya pergi sebentar. Namun balik lagi jika air sudah kembali jernih.”

Sukrisno menegaskan, pihaknya rutin melakukan reklamasi lingkungan laut dengan menanam rumpon sebagai tempat habitat ikan dan udang. Lokasi yang direklamasi adalah lokasi tambang yang sudah ditinggalkan karena timahnya sudah habis. ”Reklamasi itu belum ada petunjuk pelaksananya. Hanya inisiatif kami karena itu merupakan kewajiban yang tercantum dalam dokumen perizinan. Kalau yang ilegal jelas akan merusak lingkungan,” ujar dia.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Bangka Belitung Ferry Ariyanto mengatakan, rehabilitasi lingkungan laut yang rusak merupakan kewajiban perusahaan yang melakukan penambangan. Kewajiban tersebut sudah tercantum dalam dokumen perizinan sebelum melakukan operasi penambangan.

Ia juga mengatakan sudah ada sanksi yang diatur dalam peraturan bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajiban melakukan reklamasi. Di dalam dokumen perizinan juga sudah dicantumkan kewajiban melakukan reklamasi di wilayah yang ditambang.

Menurut Ferry, dalam melakukan reklamasi lingkungan laut seperti pemulihan terumbu karang, harus diselidiki dulu penyebab kerusakan. Karena banyak juga kerusakan yang terjadi akibat faktor alam. ”Tidak semua akibat perbuatan manusia atau koorporasi. Alam juga bisa jadi faktor penyebab kerusakan ekosistem laut. Pada bulan tertentu di Bangka Belitung biasanya terjadi gejolak alam yang membuat ekosistem laut dan daerah pesisir pantai rusak,” ujar dia.